Tulisan yang ada di blog saya ini adalah tugas-tugas kuliah saya semata. Bagi-bagi aja, siapa tau tugasnya sama....hemmm.

Selasa, 11 Januari 2011

Hadits Dhaif dan Hadits Maudhu'

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya. Namun pada kasus ini, tidak semua hadits yang disandarkan kepada Nabi adalah benar. Kadang adanya sebuah penambahan pada matan, kecacatan pada rawi, terputusnya sanad dan berbagai bentuk ketidakbenaran lainnya. Dari kasus  seperti ini, maka diadakanlah kodifikasi hadits atau pembukuan hadits secara rinci yang membagi tingkatan-tingkatan hadits dari keshahihannya sampai kedhaifannya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhaif. Di mana hadits dhaif ini adalah salah satu tingkatan hadits yang menjadi sasaran penting untuk dipelajari dalam disiplin ilmu hadits.
B.     Tujuan
Pada hadits dha’if ini terbagi menjadi beberapa macam. Pembagian tersebut dikatagorikan berdasarkan tingkat kedha’ifannya, baik itu dikarenakan kecacatan matan, lemahnya sanad dan sebagainya.
Makalah ini dibuat agar kita bisa mengetahui apa itu hadits dha’if sebenarnya dna kita bisa memahami secara detail tentang hadits dhaif dan mengetahui ciri-cirinya masing-masing.
BAB II
HADITS DHA’IF DAN HADITS MAUDHU’
Hadits Nabi SAW. dilihat dari segi kualitasnya terdiri atas tiga macam; yaitu hadits shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Untuk memahami pangertian dari hadits dhaif, terlebih dahulu harus memahami pengertian hadits shahih dan hadits hasan. Jika telah kita ketahui pengertian serta kriteria kedua hadits tersebut, maka secara otomatis akan kita ketahui apa itu hadits dha’if, karena hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hadits hasan.
Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan sempurna ke-dhabith-annya, tidak mengandung syadz (rancu) dan ‘illat (cacat).[1]
Jika periwayatnya dhabith, namun ke-dhabit-annya tidak sempurna, maka kualitas haditsnya menjadi hadits hasan. Jika periwayat ‘adil, dhabith, tetapi sanadnya terputus serta terdapat cacat dan kejanggalan di dalamnya, maka kualitas hadits tersebut juga tidak shahih. Keshahihan sebuah hadits sangat ditentukan oleh kriteria –kriteria tersebut.
A.     Pengertian Hadits Dha’if
Hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan.
الحديث الضعيف هو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و لا صفات الحسن
Artinya: “hadits dha’if ialah hadits yang tidah memenuhi kriteria hadits shahih dan hadits hasan.[2]
Dha’if itu artinya lemah. Hadits dha’if artinya hadits yang lemah, maksudnya hadits tersebut tidak kuat dijadikan landasan dan sandaran dalam menetapkan masalah hukum halal dan haram. Hadits dinilai dha’if bukanlah karena Nabi SAW. akan tetapi disebabkan oleh para periwayat dalam sanadnya yang terlibat dalam proses periwayatannya.
Ke-dha’if-an hadits disebabkan pada beberapa hal, yaitu:
1.      sanadnya terputus
2.      kualitas moral (ke-‘adil-an) periwayatnya yang cacat
3.      kualitas intelektual (ke-dhabith-an) periwayatnya yang rusak
4.      susunan redaksinya yang bermasalah
5.      kandungan maknanya rancu
B.     Klasifikasi Hadits Dha’if
Pada dasarnya hadits dha’if termasuk bagian dari hadits mardud (tertolak). Namun, tidak semua hadits dha’if tertolak. Ada hadits dha’if  yang dapat diterima dan diamalkan dengan kriteria tertentu. Dengan demikian ada hadits dha’if yang diterima dan ada juga yang ditolak. Hadits dha’if dilihat dari segi kahujjahannya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam[3], yaitu:
1.      Hadits dha’if ringan. Maksudnya hadits yang kedh’ifannya dapat berubah kualitasnya karena mendapat dukungan yang menguatkan dari hadits-hadits shahih lainnya yang kandungan maknanya sama, sehingga berubah menjadi hadits hasan li ghairihi. Hadits dha’if yang dapat berubah kualitasnya menjadi hadits hasan li ghairihi karena didukung dan dikuatkan oleh hadits shahih lain sebagai mutabi’ atau syahid adalah hadits dha’if ringan yang kedha’ifannya disebabkan oleh;
a.       Sanadnya terputus, seperti hadits mu’allaq, munqathi’, mu’dhal, dan mursal
b.      Ke-dhabith-an periwayatnya buruk, misalnya banyak bimbang dan ragu-ragu, atau hafalan buruk
c.       Tidak jelas ke-‘adil-an periwayatnya, misalnya mubham, majhul al-‘ain, dan al-mastur.
Contohnya:
اغتنم خمسا قبل خمس : شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك و فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك
“perhatikanlah lima sebelum datang yang lima; mudamu sebelum tua, masa sehatmu sebelum sakit, masa kayamu sebelum miskin, masa luangmu sebelum sbuk, dan masa hidupmu sebelum meninggal”.
-          Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, bersumber dari ‘Amr bin Maimun adalah dha’if, yaitu mursal. Hanya saja dha’ifnya ringan karena sanadnya tidak bersambung.
-          Hadits tersebut selain bersumber dari ‘Amr bin Maimun juga bersumber dari Ibnu Abbas. Hakim dan Nasai meriwayatkan melalui jalur Ibnu Abbas. Melalui sanad ini, kualitasnya shahih.
-          Oleh karena itu hadits dha’if ringan yang diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad tersebut berubah kualitasnya menjadi hadits hasan.
2.      Hadits dha’if berat. Maksudnya adalah hadits dha’if yang kedha’ifannya bersifat paten, tidak berubah kualitasnya walau sebanyak apa pun hadits shahih lainnya yang semakna dan mendukungnya. Hadits dha’if yang paling parah atau kelas berat adalah hadits maudhu’ atau hadits palsu. Hadits dha’if berat tidak dapat berubah kualitasnya disebabkan kualitas moral periwayatnya cacat, seperti dusta, tertuduh dusta, fasik, atau hapalannya rusak atau kacau (ikhtilath). Hadits dha’if yang diriwayatkan oleh periwayat seperti ini disebut hadits yang sangat dha’if, seperti hadits maudhu’, hadits munkar dan hadits matruk.
Contoh:
اطلبوا العلم ولو بالصين
“tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.
Hadits ini diriwayatkan oleh bberapa riwayat, di antaranya Ibn ‘Adiy (356 H) dalam bukunya Al-Kamil fi Dhu’afa’ Ar-Rijal, Abu Nu’aim (450 H) dalam bukunya Akhbar Al-Ashbihan, Al-Katib Al-Baghdadiy (463 H) dalam bukunya Tarikh Baghdad dan Ar-Rihlah fi Thalab Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlihi[4] dan lainnya.
-          Dilihat dari sisi sumber sanadnya, hadits ini melalui al-Hasan ibn ‘Atiyah dari Abu ‘Atikah Tarif ibn Sulaiman dari Anas ibn Malik. Kualitas hadits ini dinilai oleh para ulama hadits sebagai hadits dha’if. Kedha’ifan hadits ini disebabkan salah seorang periwayatnya dalam sanadnya bernama Abu ‘Atikah Tarif ibn Sulaiman. Abu ‘Atikah dinilai oleh kritikus hadits seperti al-‘Uqaili sebagai matruk (tertolak). Bukhari menilai bahwa haditsnya munkar. An-Nasai menilai haditsnya tidak kuat. Abu Hatim menilai, haditsnya dzahib (dibuang). Kata as-Sulaimani, Abu ‘Atikan dikenal pernah memalsukan hadits. Ahmad ibn Hambal (243 H) tidak mengakui hadits tersebut. Ibn Hibban (354 H/965 M) menilai hadits ini bathil, tidak ada dasar dan sumbernya. Bahkan Ibn Al-Jauzi dalam bukunya koleksi hadits-hadits palsu al-maudhu’at, menilai bahwa hadits tersebut adalah palsu[5].
C.      Pengertian Hadits Maudhu’
Ditinjau dari sisi bahasa, hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata وضع – يضغ. Kata وضع memiliki beberapa makna, yaitu menggugurkan, meninggalkan dan mengada-ada dan membuat-buat.
Menurut para muhadditsin, hadits maudhu’ adalah
هو ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و سلم اختلاقا و كذبا مما لم يقله او يفعله او يقره.
“sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan”.
Dari pengertian tersebut dapak kita simpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan maupun taqrir, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits maudhu’ disebut juga dengan hadits palsu.
D.     Latar Belakang Kemunculan Hadits Maudhu’
Kemunculan hadits maudhu’ dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, di antaranya:
1.      Motivasi kepentingan politik dan kekuasaan
Berawal pada masa kekacauan, pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yaitu pada perang shiffin. Contoh:
لكل أمة فرعون و فرعون هذه الأمة معاوية
“setiap umat ada fir’aunnya. Fir’aunnya umat ini adalah Muawiyah.
2.      Motivasi mengeruhkan dan merusak kemurnian ajaran agama
Seperti sebuah hadits yang dibuat oleh kaum zindik, contohnya:
انا خاتم النبيين لا نبي بعدي الا أن يشاء الله
“saya adalah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi setelahku kecuali kalau Allah menghendaki”.
Kalimat ‘kecuali kalau Allah menghendaki’ ditambahkan oleh Muhammad ibn Sa’id, seorang pendusta yang kemudian dieksekusi di tiang gantungan oleh Khalifah Al-Mansur di hadapan para kaum zindik.
3.      Motivas membangkitkan semangat beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ini dilakukan dalam rangka mendorong agar rajin beribadah dan berbuat kebaikan serrta menjauhi kejahatan. Misalnya, agar umat kembali kepada al-Quran dan rajin membacanya.
Nuh ibn Abi Maryam telah membuat hadits-hadits mengenai keutamaan membaca beberapa surat tertentu dalam al-Quran. Ketika ditanya mengapa membuat hadits-hadits seperti itu, ia menjawab: “saya melihat orang-orang sudah berpaling dari al-Quran. Mereka hanya sibuk belajar fiqh Abu Hanifah dan sejarah Muhammad ibn Ishak”. Contohnya tentang kautamaan membaca surah yasin;
من سمع سورة يس عدلت له عشرين دينارا فى سبيل الله و من قرأها عدلت له عشرين حجة و من كتبها و شربها ادخلت جوفه الف يقين و الف نور و الف بركة و الف رحمة و الف رزق و نزعت منه كل غل
“barangsiapa mendengarkan bacaan surah yasin, maka senilai dengan menyumbangkan 20 dinar ke jalan Allah, barangsiapa yang membaca surah yasin senilai dengan pergi haki 20 kali, barang siapa menulisnya dan meminumnya, maka akan dimasukkan ke dalam mulutnya 1000 keyakinan dan 1000 cahaya, 1000 berkah, 1000 rahmat dan 1000 rezeki, dan dikeluarkan dari dalam tubuhnya segala macam penyakit”.
4.      Motivasi menarik simpati dengan cara membuat kisah-kisah menarik para pendengar
Dalam sebuah riwayat dari Anas ibn Malik disebutkan bahwa seorang perempuan diberitahu bahwa ayahnya sedang sakit menjelang akhir hayatnya. Ia meminta izin kepada suaminya untuk mengunjungi ayahnya, namun suaminya melarang. Ketika ayahnya meninggal dunia isteri tersebut meimnta izin lagi kepada suaminya untuk melayat dan berkumpul bersama keluarganya ketika jenazah ayahnya diantar ke pemakaman, namun suaminya tetap melarangnya. Akhirnya isteri tersebut datang kepada Nabi SAW. mengadukan apa yang dialami dan perlakuan suaminya. Mendengar pengaduan isteri tersebut, Nabi SAW. bersabda: “sungguh Allah telah mengampuni ayahmu disebabkan engkau mematuhi perintah suamimu.[6]
Riwayat ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat mengedepankan hubungan silaturrahim terutama kepada orang tua. Tidak mungkin Nabi SAW. merestui perbuatan yang memutuskan hubungan silaturrahim.
5.      Motivasi kepentingan pribadi dan duniawi
Dalam rangka mendapatkan fasilitas duniawi sehingga mengadakan pendekatan kepada pihak pemerintah. Misalnya Ghiyat ibn Ibrahim yang datang menghadap kepada khalifah al-Mahdi (khalifah yang senang burung merpati dan suka bermain dengannya).
Ketika itu ada seekor burung dihadapannya, datanglah Ghiyat mengatakan seorang telah meriwayatkan kepadaku, katanya telah meriwayatkan kepada bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
لا سبق الا فى نصل أو خف أو حافر أو جناح
“tidak ada perlombaan kecuali lomba panahan, lomba lari unta, lari kuda atau lomba burung”.
Kata ‘lomba burung’ merupakan tambahan Ghiyats ke dalam hadits tersebut. Dengan usahanya membuat hadits maudhu’ dengan cara menambahkan satu kata sehingga ia mendapat  uang 10.000 dirham dari khalifah.
E.      Ciri-ciri Hadits Maudhu’
Para ulama muhadditsin, disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui shahih, hasan atau dha’ifnya suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudhu’-an suatu hadits.
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat dari ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
1.      Ciri-ciri yang terdapat pada matan, antara lain:
a.       Rawi tersebut terkenal berdusta dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadits dari dia.
b.      Pengakuan dari si pembuat sendiri
c.       Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal. Contoh, ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengeaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban, maka Ibnu Hibban bertanya; “kapan engkau pergi ke Syam?”, Ma’mun bertanya; “pada tahun 250 H”. Mendengar itu Ibnu Hibban berkata; “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H”.
d.      Keadaan rawi dan faktor-raktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’. Seperti yang dilakukan Ghiyat (seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya).
2.      Ciri-ciri yang terdapat pada matan, antara lain:
a.       Keburukan susunan lafadznya. Ciri ini akan diketahui setelah mendalami ilmu bayan. Dengan mendalami ilmu tersebut, kita akan merasakan susunan kata, mana yang keluar dari mulut Nabi SAW., dan mana yang tidak mungkin keluar dari mulut Nabi SAW.
b.      Kerusakan maknanya. Terdapat beberapa kriteria pada bagian ini, diantaranya;
-          Bertentangan dengan ilmu kedokteran, seperti pada hadits berikut;
الباذنجان شفاء من كل شيء
“buah terong itu penawar bagi segala obat”
-          Mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali, seperti pada hadits berikut;
الديك الأبيض حبيبي و حبيب حبيبي
“ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku jibril”
-          Bertentangan dengan keterangan Al-Quran, hadits mutawatir dan kaidah-kaidah kulliyah. Contohnya;
ولد الزنا لا يدخل الجنة الى سبعة ابناء
“anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan”
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am: 164, yaitu:
و لا تزر وازرة وزر أخرى (الأنعام: 164)
“dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
Ayat tersebut menjaelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Seorang anak tidak dibebani dosa orang tuanya.
F.      Mengamalkan dan Menyampaikan Hadits Dha’if dan Hadits Palsu
Dalam kajian ilmu hadits, hadits dha’if dan hadits palsu dilihat dari sisi kehujjahannya termasuk kategori hadits mardud (tertolak). Hadits palsu tertolak secara pasti dan meyakinkan. Berbeda dengan hadits dha’if yang ringan, ada kemungkinan diterima dengan kriteria tertentu.
Dalam konteks ini, para ulama hadits berbeda pendapat, yaitu:
1.      Hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik berkaitan dengna hukum halal dan haram maupun fadhail al-a’mal (keutamaan amal). Pendapat ini didukung oleh Ibnu Sayyid an-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi. Imam Bukhari dan Muslim juga berpendapat demikian, keduanya tidak meriwayatkan hadits dha’if.
2.      Hadits dha’if boleh diamalkan secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Ahmad ibn Hambal dan Abu Daud. Hadist dha’if yang boleh diamalkan seperti yang dimaksud boleh jadi dalam konteks sekarang adalah hadits hasan, baik hasan lighairihi maupun lidzatihi.
3.      Boleh mengamalkan hadits dha’if dalam hal fadhail al-‘amal dengan syarat-syarat tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan al-Hafizh ibn Hajar (852 H/1449 M), yang dikutip oleh Nurdin ‘Itr, yaitu:
a.       Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits yang tidak terlalu dha’if , tidak bisa diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau orang yang banyak salah.
b.      Hadits dha’if itu berada di bawah suatu dalil yang umum, sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.
Sedangkan hadits dha’if yang berat, seperti hadits maudhu’, matruk, munkar dan sejenisnya tidak boleh diriwayatkan.


BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya adalah hadits yang mardud (tertolak). Namun ada beberapa hal yang menjadikan sebagian dari hadits dha’if tersebut bisa diterima, yaitu dikarenakan hadits tersebut tergolong dalam hadits dha’if yang ringan seperti mu’allaq, munqathi’, mu’dhal mursal dan yang sejenisnya.
Adapun hadits dha’if yang tertolak adalah hadits dha’if berat seperti hadits maudhu’, munkar, matruk dan sejenisnya.
B.     Saran
Dari apa yang telah dibahas dan dijelaskan dalam makalah ini, tentunya masih terdapat keurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini, memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis makalah ini juga kepada saudara-saudara yang sedang mendalami disiplin ilmu ulumul hadits ini.


DAFTAR PUSTAKA
Wajidi Sayadi. 2009. Pengantar Studi Hadis. Pontianak: Pustaka Abuya
Agus Solahuddin dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia


[1] Ahmad ibnu Hajar Al-asqalani, Syarh Nukhbah al-Fikar fi Musthalah al-Atsar, Damaskus: Maktabah Al-Ghazali, 1410 H/1990 M), cet. II h. 30.
[2] Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag, Pengantar Studi Hadits, Pontianak: Pustaka Abuya. Hal 67.
[3] Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag, Pengantar Studi Hadits, Pontianak: Pustaka Abuya. Hal 69.
[4] Al-Albani, 1986: 450; Yaqub, 2003: 2; Al-Malibary, t.th: 7; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154.
[5] Al-Albani, 1986: 451; Yaqub, 2003: 2; Al-‘Ajluni, 1421 H, I: 154).
[6] Muhammad Al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadits, (Kairo: Dar asy-Syuruq, 1989), cet IV h.43

2 komentar:

  1. bermanfaat,, tampilan blog bagus tp tulisan jadi susah dibaca.

    BalasHapus
  2. Pada Bab Pendahuluan, teks nya berwarna biru.Jadi susah dibacanya, gak jelas bagi saya yang sudah berumur. Kalo ttg isinya,bagus dan memberi manfaat bagi pemula.

    BalasHapus