PENDAHULAN
Tes bahasa merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik yaitu ilmu yang mempelajari seluk beluk bahasa. Kajian tes bahasa dapat bersifat umum seperti yang dilakukan dalam ilmu linguistik umum yang membahas masalah-masalah umum seperti latar belakang dan sasaran kajian bahasa. Kajian bahasa dapat pula bersifat ilmiah, teoritis, dan rinci seperti yang dilakukan dalam ilmu linguistik murni atau linguistik teoritis yang menyajikan kajian-kajian tentang seluk beluk tata bahasa transformasi, atau aspek tertentu dari bahasa seperti kajian tertentu tentang makna dalam kajian semantik dan kajian dari sudut pandang psikologi dan psikolinguistik dan lain-lain.
Tes bahasa merupakan bagian dari keseluruhan penyelenggaraan pembelajaran bahasa, khususnya sebagai bagian dari komponen ketiga yaitu evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kedudukan tersebut, tes bahasa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan komponen-komponen dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa, terutama komponen pembelajaran yang mendasarinya yaitu kegiatan pembelajaran. Hal serupa berlaku juga sebaliknya terhadap komponen kegiatan pembelajaran itu sendiri yang seharusnya amat erat kaitannya dengan komponen tujuan pembelajaran yang mendasarinya.
Dalam suatu tes diperlukan sebuah pendekatan. Pentingnya sebuah alternatif pendekatan tes bahasa berkaitan dengan ukuran-ukuran validitas, realibilitas dan efisien. Validitas dikaitkan dengan apakah tes mengukur apa yang hendak diukur. Realibilitas berkaitan dengan tingakatan yang mana pada hasil tes. Efisien berkaitan dengan berbagai hal pelaksanaan desain tes dan pengadministrasiannya.
PENDEKATAN TES BAHASA
Dalam kajian bahasa dikenal ada berbagai cara pandang dan unsur yang dianggap penting oleh ahli yang berbeda atau tahap perkembangan ilmu pengetahuan yang berbeda. Perbedaan cara pandang tersebut dapat dikenali dan ditelusuri keberadaannya pada berbagai cabang kajian bahasa, termasuk tes bahasa, dalam bentuk pendekatan tradisional, pendekatan diskert, pendekatan integratif, pendekatan pragmatik dan pendekatan komunikatif.
A. Pendekatan Diskert
Menurut Oller (1979), tes diskret adalah suatu tes yang hana menekankan satu aspek kebahasaan (misalnya tatabahasa) pada satu waktu. Artinya kemampuan yang akan diukur adalah tunggal atau satu komponen saja. Dengan demikian teste dalam menjawab suatu butir pertanyaan tidak mempbutuhkan berbagai kemampuan secara integrative atau simnultan[1].
Menurut Merrow, istilah lain yang semakna dengan tes diskret adalah tes atomistic. Tes atomistic mengukur butir-butir spesifik, misalnya tatabahasa, bunyi dan kosa kata yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan penggunaan bahasa nyata[2].
Dalam pandangan ilmu bahasa struktural, bahasa dipahami sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang demikian rapi seperti suatu bangunan buatan manusia. Dalam pandangan bahasa struktural ini, wacana sebagai wujud penggunaan bahasa yang luas cakupannya, dipahami sebagai suatu yang terdiri dan tersusun dari wacana yang lebih kecil dalam bentuk paragraf dan kalimat. Kalimat dipahami sebagai terdiri dari frasa. Frasa terdiri dari kata-katak. Kata-kata terdiri dari suku kata. Suku kata terdiri dari morfem. Morfem terdiri dari alomorf. Alomorf terdiri dari fonem, dan demikian seterusnya. Pendekkata menurut pandangan struktural setiab bagian dari bahasa itu dapat dipisah-pisahkan menjadi bagian yang lebih kecil. Demikian juga dengan berbagai aspek kebahasaan( tata bahasa).
Sebagai bagian dari penerapan kajian ilmu bahasa struktural, bahasa dalam tes bahasa diskret dipahami sebagai sesuatu yang berstruktur dan terdiri dari bagian-bagian yang bersama-sama membentuk suatu entitas yang disebut bahasa. Bagian-bagian bahasa sampai yang terkecil itu dapat diidentifikasi secara terpisah dan tersendiri atau diskret, baik dalam pelaksanaan pembelajaran maupun penyelenggaraan tes yang diskret (discrate-point testing). Dalam tes pendekatan diskret, satu butir tes dimaksudkan untuk mengukur hanya satu unsur komponen bahasa. Tes bahasa yang diskret terdiri dari butir-butir tes yang, yang secara terpisah di luar konteks, menugaskan peserta tes untuk membedakan satu bunyi bahasa dari bunyi bahasa yang lain, melafalkan satu bunyi bahasa tertentu, menyebutkan lawan kata dari satu kata tertentu (menang atau kalah), bentuk jamak daru suatu kata benda ( bentuk jamak dari rumah adalah rumah-rumah), dan lain-lain. Dewasa ini penerapan pendekatan diskret dalam penyelenggaraan tes tidak banyak ditemukan, terutama karena validitas yang dipersoalkan maupun nilai kepraktisan dan tingkat kebutuhannya. Penerapan tes bahasa atas dasar pendekatan diskret ini mungkin masih dapat dipahami dan ditemukan pada sejumlah bentuk pembelajaran bahasa oleh calon pengajar bahasa, khususnya bahasa asing.
Pendekatan diskret ini diterapkan atas dasar konvensional terhadap keempat aspek kebahasaan (menyimak, membaca, menulis, berbicara) dan empat komponen bahasa (bunyi bahasa, struktur bahasa, kosakata, dan kelancaran bahasa)[3].
B. Pendekatan Integratif
Tes integratif mempunyai landasan teori linguistik yang sama dengan tes diskret. Akan tetapi, dalam tes integratif terdapat penggabungna dari bagian-bagian terkecil pada suatu butir tes (Djiwandono, 1979)[4].
Pendekatan integratif lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di mana kemampuan dan unsur bahasa pada umumnya tidak diperlakukan secara terpisah-pisah. Dalam penggunaan bahasa senyatanya kemampuan dan unsur bahasa digunakan dalam wacana yang merupakan gabungan dari beberapa jenis kemampuan atau unsur bahasa. Bila dalam pendekatan diskert bahasa seolah-olah dipisahkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sampai pada bagian terkecil, pendekatan integratif dapat dipandang sebagai penyatuan bagian-bagian itu kembali menjadi lebih utuh. Seberapa lebih utuh penggabungan itu tergantung pada berapa banyak bagian kemampuan dan komponen bahasa yang perlu saling digabungkan untuk menjawab butir-butir tes yang diselenggarakan.
Menurut Nurgiyantoro (1989), yang termasuk tes integrative baik yang menyangkut aspek kebahasaan maupun keterampilan berbahasa adalah menusun kalimat, mansfsirkan wacana singkat yang dibaca atau didengar, memahami bacaan yang dibaca atau didengar, dan meyusun sebuiah alinea berdasarkan kalimat-kalimat yang disediakan[5].
Butir tes kosakata seperti “baik x …….” (dibaca: lawan kata baik adalah…..) pada dasarnya bersifat diskert karena digunakan secara lepas. Jika pernyataan yang sama itu dikemas dalam kalimat “orang itu sangat baik, sedangkan saudaranya…...), butir tes yang semula diskert berubah menjadi integratif karena digunakan dalam kaitannya dalam unsur-unsur bahasa lain. Dalam hal itu, kemampuan menemukan jawaban berupa kata jahat tidak semata-mata dimungkinkan oleh pengetahuan tentang kosakata baik dan jahat, tetapi dipermudah oleh pengetahuan tentang kosakata orang itu dan saudaranya. Tercermin bahwa kemampuan menjawab butir tes tersebut tidak sekedar mengandalkan penguasaan unsur kosakata, melainkan melibatkan pula penguasaan unsur bahasa lain, yaitu susunan kata-kata yang merupakan bagian dari tata bahasa.
Ciri pendekatan integratif yang melibatkan lebih dari satu unsur merupakan penggabungan lebih dari satu jenis kemampuan atau komponen bahasa. Pada penggunaan bahasa senyatanya, termasuk dalam mengerjakan tes, penggabungan unsur bahasa pada pendekatan integratif bahkan dapat bersifat jauh lebih luas dan menyeluruh, menyangkut penggunaan bahasa dalam komunikasi secara keseluruhan.
C. Pendekatan Pragmatif
Pendekatan pragmatik awalnya digunakan dalam kaitannya dengan teori tentang kemampuan memahami berdasarkan kemampuan tata bahasa pragmatik ( pragmatik expectancy grammar), atau kemampuan pragmatik. Kemampuan itu merupakan kemampuan untuk memahami teks atau wacana, tidak hanya dalam konteks linguistik melainkan juga dengan memanfaatkan kemampuan pemahaman unsur-unsur ekstra linguistik.
Dalam memahami wacana, seseorang tidak saja mengandalkan kemampuan linguistikdalam bentuk pemahaman terhadap bentuk dan susunan kalimat, frasa, kata-kata, dan unsur linguistik lain yang secara eksplisit terdapat dalam penggunaan bahasa. Pemahaman yang lebih dalam terdapat dalam konteks ekstra linguistik (exstralinguistic context), yaitu aspek-aspek pemahaman bahasa di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit melalui bahasa, dan yang meliputi segala sesuatu dalam bentuk kejadian, pikiran, antar hubungan, perasaan, persepsi, ingatan, dan lain-lain.
Menurut Oller (1979), tes integratif belum tentu pragmatik, meskipun tidak tertutup kemungkinan juga bersifat, tetapi tes pragmatik pasti integratif. Dengan pengertian lain, tes bahasa pragmatik telah mempresentasikan unsur-unsur tes integratif[6].
Kemampuan pemahaman yang diharapkan dapat disadap dalam tes pragmatik, yang definisinya sebagai berikut :
Prosedur atau tugas yang menuntut pembelajaran untuk mencoba memahami rangkaian elemen bahasa, yang tersusun dalam bentuk penggunaan bahasa dengan berbagai kendala kontekstual yang secara alamiah dan wajar terdapat dalam penggunaan bahasa, sehingga mengharuskan peserta tes untuk mengaitkan rangkaian elemen bahasa itu dengan konteks di luar bahasa melalui pemetaan pragmatik.
Kendala alamiah yang terdapat dalam suatu wacana pragmatik mengharuskan pembaca (atau pendengar) untuk:
- Mengolah dan memahami wacana itu dengan segala macam kendala, yang bersifat linguistik maupun ekstralinguistik, yang secara alamiah selalu mewarnai setiap wacana yang diungkapkan.
Dalam hal itu kendala yang bersifat linguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap susunan wacana, tata bahasa, atau kata-kata yang digunakan dalam wacana. Sedangkan kendala ekstralinguistik berupa kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek diluar linguistik dalam bentuk abstraksi pengalaman hidup yang diperlukan untuk memahami isi wacana yang tengah dihadapi.
Penerapan pendekatan pragmatik dalam tes bahasa peling sering dikaitkan dengan tes cloze, disamping dikte. Pada tahap ini beberapa ciri khas tes cloze dapat digunakan sebagai sarana untuk mendeskripsikan ciri-ciri tes pragmatik seperti disebutkan di atas. Pada umumnya tes cloze terdiri dari teks bacaan sepanjang kira-kira 400-500 kata. Kemudian ada beberapa kata yang dihapus. Kemampuan untuk menemukan dan menuliskan kata-kata yang sama dihapus berdasarkan teks yang masih tertinggal tersebut, ditafsirkan sebagai ceminan dari kemampuan untuk memahami teks secara keseluruhan berdasarkan kemampuan pragmatik yang meliputi kemampuan memahami bacaan, susunan bacaan, tata bahasa, dan kosa kata (kemampuan linguistik), serta pengetahuan tentang seluk-beluk bidang yang dibahas dalam teks bacaan ( kemampuan ekstralinguistik ).
KESIMPULAN
Di dalam tes bahasa sangat diperlukan pendekatan, karena pendekatan tersebut sangat berpengaruh terhadap ukuran validitas, reabilitas dan efisiensi tes tersebut, di mana validitas berhubungan dengan apa yang hendak diukur, realibilitas berhubungan dengan tingkatan pada hasil tes dan efisiensi berhubungan dengan segala hal pelaksanaan dan desain tes serta administrasinya. Dalam tes bahasa dikenal terdapat beberapa pendekatan tes bahasa, yaitu:
- Pendekatan diskert
- Pendekatan integratif
- Pendekatan pragmatik
DAFTAR RUJUKAN
Ainin M, Tohir M, Asrori Imam. 2006. Evaluasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Malang: MISYKAT
Djiwandono, M. Soenardi. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB
hhtp//perseba.blogspot.com/2009/11/pendekatan-tes-bahasa-html
hhtp//perseba.blogspot.com/2099/11/pendekatan-pembelajaran-bahasa-html
hhtp//perseba.blogspot.com/2009/11/pengertian-pendekatan-tes-bahasa-html